Minggu, 25 Juli 2010

Sanusi Pane (1905-1968)

Sastrawan Pujangga Baru

Sanusi Pane, sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Pria kelahiran Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga aktif dalam dunia pergerakan politik, seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond.” Karya-karyanya banyak diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968.

Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Di antara saudaranya yang juga menjadi tokoh nasional,adalah Armijn Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah (seorang pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam).

Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang Sidempuan, Tanjungbalai, dan Sibolga, Sumatera Utara. Lalu melanjut ke MULO di Padang dan Jakarta, tamat 1922. Kemudian tamat dari Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1925. Setelah tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum dipindahkan ke Lembang dan jadi HIK. Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjut kuliah Othnologi di Rechtshogeschool.

Setelah itu, pada 1929-1930, ia mengunjungi India. Kunjungan ke India ini sangat mewarnai pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India, selain aktif sebagai guru, ia juga aktif jadi redaksi majalah TIMBUL (berbahasa Belanda, lalu punya lampiran bahasa Indonesia). Ia banyak menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik.

Selain itu, ia juga aktif dalam dunia politik. Ikut menggagas dan aktif di “Jong Bataks Bond.” Kemudian menjadi anggota PNI. Akibat keanggotannya di PNI, ia dipecat sebagai guru pada 1934. Namun sastrawan nasionalis ini tak patah arang. Ia malah menjadi pemimpin sekolah-sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada sekolah menengah Perguruan Rakyat di Jakarta. Kemudian tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu KEBANGUNAN di Jakarta. Lalu tahun 1941, menjadi redaktur Balai Pustaka.

Sanusi Pane sastrawan pujangga baru yang fenomenal. Dalam banyak hal berbeda (antipode) dari Sutan Takdir Alisjahbana. Jika STA menghendaki coretan yang hitam dan tebal dibawah pra-Indonesia, yang dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia telah menjadi nista, Sanusi malah berpandangan sebaliknya, mencari ke jaman Indonesia purba dan ke arah nirwana kebudayaan Hindu-Budha. Sanusi mencari inspirasi pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya sampai pada sintesa Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan dunia, idealisme dan materialisme. Puncak periode ini ialah dramanya Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940.

Karya-karyanya yang terkenal diantaranya: Pancaran Cinta dan Prosa Berirama (1926), Puspa Mega dan Kumpulan Sajak (1927), Airlangga, drama dalam bahasa Belanda, (1928), Eenzame Caroedalueht, drama dalam bahasa Belanda (1929), Madah Kelana dan kumpulan sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1931), naskah drama Kertajaya (1932), naskah drama Sandhyakala Ning Majapahit (1933), naskah drama Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940). Selain itu, ia juga menerjemahkan dari bahasa Jawa kuno kekawin Mpu Kanwa dan Arjuna Wiwaha yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940).

Jiwa nasionalismenya terlihat antara lain dari pernyataan Sanusi Pane tentang akan dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama “Jong Bataks Bond.” Ia menyatakan: “Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.” (Dikutip dari Nationalisme, Jong Batak, Januari, 1926).

Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi pemuda-pemuda Batak bukan berarti upaya pembongkaran terhadap de Jong Sumateranen Bond (JSB). Tetapi sebaliknya, menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang Sumatera. Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama Sumatera.
Sanusi Pane (lahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 – meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru yang karya-karyanya banyak diterbitkan antara 1920-an sampai dengan 1940-an.

Keluarga

Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane yang merupakan pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam.

[sunting] Pendidikan

Semasa mudanya, Sanusi Pane menempuh pendidikan formal di HIS dan ELS di Padang Sidempuan, Sumatera Utara. Pendidikannya selanjutnya adalah di MULO di Padang dan Jakarta, yang diselesaikannya tahun 1922. Ia lalu melanjutkan di Kweekschool (sekolah guru) di Gunung Sahari, yang selesai pada tahun 1925. Ia lalu mengajar di sekolah tersebut, sebelum dipindahkan ke Lembang dan menjadi HIK. Ia juga sempat kuliah di Rechtshogeschool dan mempelajari Ontologi. Pada antara tahun 1929-1930, ia berkesempatan mengunjungi India, yang selanjutnya akan berpengaruh besar terhadap pandangan kesusastraannya.

[sunting] Karier

Sekembalinya dari India, Sanusi Pane menjadi redaksi majalah "Timbul" yang berbahasa Belanda. Ia mulai menulis berbagai karangan kesusastraan, filsafat dan politik, sementara tetap mengajar sebagai guru. Karena keanggotaannya dalam PNI, tahun 1934 ia dipecat. Ia kemudian pemimpin sekolah dan guru di sekolah-sekolah milik Perguruan Rakyat di Bandung dan Jakarta. Tahun 1936 Sanusi Pane menjadi pemimpin suratkabar Tionghoa-Melayu "Kebangunan" di Jakarta; dan tahun 1941 ia menjadi redaktur Balai Pustaka.

[sunting] Pandangan

Dalam bidang kesusastraan, Sanusi Pane seringkali dianggap sebagai kebalikan dari Sutan Takdir Alisjahbana.[1] Sanusi Pane mencari inspirasinya pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau.[2] Perkembangan filsafat hidupnya itu, sampailah kepada sintesa Timur dan Barat, persatuan jasmani dan rohani, dunia dan akhirat, serta idealisme dan materialisme; yang tercermin dalam karyanya "Manusia Baru", yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940.

Karya

Sanusi Pane cukup produktif dalam menghasilkan karya kesusastraan, diantaranya sebagai berikut:

  • Pancaran Cinta (1926)
  • Prosa Berirama (1926)
  • Puspa Mega (1927)
  • Kumpulan Sajak (1927)
  • Airlangga (drama berbahasa Belanda, 1928)
  • Eenzame Caroedalueht (drama berbahasa Belanda, 1929)
  • Madah Kelana (1931)
  • Kertajaya (drama, 1932)
  • Sandhyakala Ning Majapahit (drama, 1933)
  • Manusia Baru (drama, 1940)
  • Kakawin Arjuna Wiwaha (karya Mpu Kanwa, terjemahan bahasa Jawa Kuna, 1940)
Sanusi Pane adalah anak dari Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Di antara delapan bersaudara, selain dirinya ada juga yang menjadi tokoh nasional, yaitu Armijn Pane yang juga menjadi sastrawan, dan Lafran Pane